Gairahkan Ekonomi Domestik, Pemerintah Rancang UU Perpajakan Baru






    Iklim usaha di tanah air bakal lebih bersahabat bagi pelaku usaha. Itu seiring dengan upaya pemerintah melakukan reformasi perpajakan. Dalam usulan RUU perpajakan yang baru, ada sejumlah keringanan maupun insentif pajak untuk para pengusaha.
Reformasi kebijakan tersebut diputuskan dalam rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin (3/9). Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada prinsipnya meminta reformasi perpajakan harus dilakukan menyeluruh. Baik dari sisi regulasi, administrasi, maupun penerapan core tax system dan penguatan basis data.
Tujuan akhirnya bukan hanya soal sistem perpajakan yang tepercaya. “Namun juga memiliki sistem administrasi perpajakan yang lebih efisien, terintegrasi,” kata Jokowi.
Rapat terbatas tersebut menghasilkan keputusan untuk segera mengajukan RUU perpajakan yang baru. Judulnya RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Yang paling menonjol adalah pengurangan besaran pajak penghasilan (PPh) badan. Dari 25 persen menjadi 20 persen. “Itu bisa dilakukan dan penurunannya dimulai 2021,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.




Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Hendra Eka/Jawa Pos)

Pihaknya sudah menghitung dampaknya, terutama potential loss (potensi kehilangan pendapatan). “Nanti kita lihat saat konsultasi (publik) supaya kita juga melihat dalam bentuk RUU,” ucapnya. Yang jelas, presiden dan wakil presiden sudah memberikan arahan agar APBN tidak turun. Dan di saat bersamaan bisa menstimulasi ekonomi.
Penurunan besaran PPh badan itu akan dilakukan secara bertahap. Besaran penurunannya bakal disusun dan diformalkan dalam RUU. Kebijakan tersebut juga akan menentukan desain RAPBN 2021 yang disusun tahun depan. Sebab, yang dihitung bukan hanya potential loss. Tapi juga potensi peningkatan basis pajak setelah insentif diberikan.
Pemerintah juga akan memberikan insentif khusus bagi pengusaha yang berani memulai IPO atau melantai di bursa. Mereka akan mendapatkan insentif 3 persen dari tarif normal selama lima tahun. Artinya, di saat perusahaan lain membayar PPh badan 20 persen, pajak untuk mereka hanya 17 persen. “Itu sama seperti di Singapura,” ujar mantan managing director World Bank tersebut.
Rezim pajak diubah dari world wide ke territory. Dengan rezim baru itu, WNI yang bekerja di negara lain tidak perlu membayar pajak dobel. WNI yang sudah tinggal lebih dari 183 hari di negara lain akan bebas dari kewajiban membayar pajak di Indonesia. Dengan catatan, ada bukti bahwa mereka membayar pajak ke negara tujuan kerja.
Sebaliknya, pemerintah akan melakukan hal yang sama kepada para WNA. Berikutnya adalah pengenaan pajak bagi perusahaan digital. Khususnya yang berbasis di luar Indonesia. Misalnya Google, Amazon, atau perusahaan digital lain yang memiliki pelanggan di Indonesia. Selama ini perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa dikukuhkan sebagai subjek pajak luar negeri.
Pemerintah akan mengubah kebijakan terkait badan usaha tetap (BUT). Perusahaan-perusahaan itu tidak harus punya kantor fisik di Indonesia. Mereka akan jadi BUT karena memiliki kegiatan ekonomi yang sangat signifikan di Indonesia.
Selain itu, RUU perpajakan yang baru akan mengumpulkan semua jenis insentif dalam satu bagian. Mulai tax holiday, superdeduction, hingga PPh untuk kawasan ekonomi khusus maupun surat berharga nasional.
Belum lagi, ada kebijakan pengurangan denda bagi wajib pajak (WP) yang kurang bayar maupun terhadap faktur pajak. WP yang kurang bayar akan didenda sesuai ketentuan bunga pasar plus 5 persen. Sementara denda faktur pajak akan dipangkas dari 2 menjadi 1 persen.
Sri Mulyani mengatakan, pihaknya akan melaksanakan uji publik untuk mendapatkan berbagai masukan sembari menyusun naskah akademik. Selanjutnya, baru usulan RUU diajukan kepada DPR untuk dibahas menjadi produk UU.




Share:

Recent Posts